Andai ini Salat Terakhirku
Bagaimana jika salat yang akan kita laksanakan setelah ini adalah salat terakhir kita sebagai makhluk yang bernyawa? Anggaplah kita tahu bahwa setelah salat ini nanti, malakul maut akan datang menjemput dan mencabut nyawa kita. Kita akan berpisah dengan orang-orang tercinta dan bersiap untuk menghadap Allah Ta’ala, serta mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan selama hidup di dunia.
Ibadah yang merupakan amalan pertama dihisab pada hari akhir itu ternyata menjadi persembahan terakhir kita kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا
“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Maka, jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika salatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari salat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunah.’ Maka, disempurnakanlah apa yang kurang dari salat wajibnya. Kemudian, begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi no. 413 dan An-Nasa’i no. 466 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini sahih.)
Barulah kita menyadari bahwa, di dalamnya terdapat waktu mustajabnya doa (ketika sujud). Di mana kita masih dapat memohon pengampunan dari Allah Ta’ala atas segala dosa selama hidup. Salat di mana kita berserah diri kepada Allah Ta’ala, mengakui kebesaran-Nya tatkala mengucap takbiratulihram “Allahu Akbar”.
Kemudian, kita merenungi setiap kalimat dan kata di kala melantunkan surah Al-Fatihah, melakukan rukuk, iktidal, dan sujud dengan begitu tumakninahnya karena menyadari bahwa ibadah tersebut merupakan penutup amalan kita selama hidup di dunia. Tentu, menangislah diri kita sejadi-jadinya berharap kesempatan terakhir dalam ibadah kepada Allah Ta’ala tersebut. Terbayang dosa-dosa yang pernah dilakukan, rasa cemas yang begitu tinggi, serta harapan yang besar agar mendapat ampunan dari Allah Ta’ala sebelum ajal menjemput.
Salat dan prioritas ibadah
Salat merupakan ibadah yang paling fundamental dalam Islam. Ibadah salat merupakan sarana di mana seorang hamba berkomunikasi dengan Rabb-Nya. Renungkanlah bacaan-bacaan dalam salat mulai dari takbiratulihram hingga salam. Semua kalimat tersebut merupakan zikir pengagungan kepada Allah Ta’ala dan doa-doa agung yang dipanjatkan oleh seorang hamba kepada Rabbnya.
Bagaimana mungkin sepanjang melantunkan zikir dan doa kepada Allah, kita tidak mampu khusyuk dan benar-benar memahami bacaan yang kita ucapkan?
Padahal, sangat jelas bahwa dalam setiap ayat yang kita baca dalam surah Al-Fatihah, Allah Ta’ala menjawab lantunan kita tersebut. Karena pada setiap bacaan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Maka, Allah Ta’ala akan berfirman,
حَمِدَنِي عَبْدِي
“Hamba-Ku memuji-Ku.”
Adapun dalam setiap bacaan,
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Allah Ta’ala pun menjawab,
أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي
“Hamba-Ku menyanjung-Ku.”
Begitu juga, dalam setiap bacaan,
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Maka, Allah juga membalasnya dengan kalimat,
مَجَّدَنِي عَبْدِي
“Hamba-Ku mengagungkan-Ku.” (HR. Muslim no. 395, Ahmad no. 7291, dan yang lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Namun, kenyataannya, sebagian besar dari kita masih belum memprioritaskan salat sebagai momen paling berharga sepanjang kehidupan yang diberikan oleh Allah Ta’ala setiap waktu. Padahal, saat salatlah seharusnya kita benar-benar mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah Ta’ala dengan fisik yang prima, pakaian terbaik, dan ilmu yang mumpuni tentang salat.
Seseorang yang memiliki fisik yang prima tentu akan dengan mudah melakukan rangkaian gerakan salat dengan baik, tumakninah, dan kesesuaian dengan petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu pula, pakaian terbaik disertai dengan wewangian terbaik pula sebagai tanda persiapan maksimum sebelum bertemu dengan Allah Ta’ala dalam salat. Serta, ilmu yang mumpuni, dengannya seorang hamba dapat menyempurnakan ibadah salatnya sesuai dengan ketentuan sunah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ikhtiar memaksimalkan kekhusyukan
Ditegaskan pula bahwa salat menempati urutan prioritas untuk dipertanggungjawabkan seorang muslim dalam rukun Islam setelah syahadatain. Karena keislaman seseorang tidak akan utuh tanpa melaksanakan salat sebagai kewajiban utamanya sebagai seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; menunaikan haji (ke Baitullah); dan berpuasa Ramadan.” (HR. Bukhari no. 8; Muslim no. 16 dari Abdullah bin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuma.)
Oleh karenanya, pahami dan sadarilah bahwa kedudukan salat adalah sungguh sangat agung dalam Islam. Persiapkan diri dengan semaksimal mungkin sebelum melaksanakan ibadah mulia ini, seperti:
Pertama: Memohon kemudahan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala;
Kedua: Membulatkan tekad dan azam untuk memprioritaskan salat dari segala urusan duniawi lainnya;
Ketiga: Senantiasa menambah ilmu tentang fikih salat agar wawasan terhadap ibadah mulia ini selalu bertambah dan dapat mendekati kesempurnaan dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan petunjuk sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam;
Keempat: Mengatur pengingat 10 menit sebelum waktu salat dengan niat mendapatkan saf pertama di masjid (bagi kaum pria);
Kelima: Menjaga wudu agar selalu siap tatkala masuk waktu salat;
Keenam: Menyiapkan pakaian salat di tempat tertentu agar mudah mengenakannya atau senantiasa mengenakan pakaian yang tertutup aurat agar memudahkan diri melaksanakan salat secara tepat waktu;
Ketujuh: Senantiasa menyiapkan wewangian dan siwak agar terjaga dari bau yang tidak sedap tatkala menghadap Allah Ta’ala;
Kedelapan: Memaksimalkan kekhusyukan setiap melaksanakan salat dan menganggap bahwa salat tersebut adalah ibadah terakhirnya;
Kesembilan: Memahami seluruh kata dan kalimat yang diucapkan dalam salat serta berupaya mentadaburinya;
Kesepuluh: Memutus setiap pikiran dan khayalan yang timbul saat sedang menunaikan ibadah salat.
Baca juga: Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat
Menyadari kelemahan saat menunaikan salat
Banyak hal yang dapat menggiring dan menjauhkan kita dari fokus untuk dapat khusyuk setiap kali melaksanakan salat. Di antaranya adalah kesadaran diri dan benteng diri dari setan.
Kadangkala, kita mengalami kurang fokus saat melaksanakan salat. Terpikir hal-hal yang sejatinya tidak terpikirkan ketika sedang tidak salat. Bahkan, ayat-ayat yang dibacakan mungkin benar secara tajwid, tapi satu huruf pun kadang tak mampu direnungi makna dan maksudnya. Wal’iyadzubillah. Padahal, jelas ditegaskan bahwa dalam salat seharusnya kita memahami apa yang kita baca. Allah Ta’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ
“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisa: 43)
Sering pula, kita diganggu oleh setan dengan berbagai cara, mulai dari rasa was-was apakah wudu batal atau tidak, terbayang permasalahan duniawi, bahkan bacaan Al-Qur’an yang terganggu karena pikiran sedang kacau. Maka, segeralah memohon perlindungan kepada Allah dan tiup/meludahlah ke sebelah kiri sebanyak tiga kali.
Renungkanlah riwayat berikut ini. Dari Abul ‘Ala’ bahwa ‘Utsman bin Abil ‘Ash mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya setan mengganggu salat dan bacaanku, ia menggodaku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda,
ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خِنْزِبٌ فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا ». قَالَ فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللَّهُ عَنِّى.
“Itu adalah setan, ia disebut dengan Khinzib. Jika engkau merasa diganggu, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan tersebut. Kemudian ludahlah ke sebelah kirimu sebanyak tiga kali.” ‘Utsman kemudian melakukan seperti itu, lantas Allah mengusir setan itu darinya. (HR. Muslim no. 2203)
Nikmatnya salat khusyuk
Betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menikmati ibadah salatnya sampai-sampai Nabi berucap bahwa salat merupakan bagian dari perkara kesenangan duniawinya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
حُبِّبَ إليَّ مِن الدُّنيا النساءُ والطِّيب، وجُعِلَتْ قُرَّةُ عيني في الصلاة
“Diberikan kepadaku dari perkara dunia adalah senang kepada wanita dan minyak wangi. Dan ketentramanku dijadikan ada pada salatku.” (HR. An-Nasa’i no. 3939)
Begitu pula, banyak riwayat yang menceritakan bahwa para sahabat dahulu ketika di medan perang tertusuk panah tajam pada tubuhnya. Ia tidak rela untuk dicabut, kecuali saat sedang melaksanakan salat, saking khusyuknya. Mereka menyadari bahwa orang-orang yang istikamah dan khusuk dalam salatnya adalah mereka orang-orang beriman yang beruntung.
Allah Ta’ala berfirman,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2)
Dari Abi Ayyub radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ
“Apabila engkau mendirikan salat, maka salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah.” (Hadis hasan. Dikeluarkan oleh Ahmad, 5: 412; Ibnu Majah no. 417; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 1: 462; Al-Mizzi, 19: 347; dan Lihat Ash-Shahihah no. 401.)
Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah Ta’ala yang diberikan karunia kekhusyukan dalam salatnya. Menghadirkan perasaan bahwa salat tersebut merupakan ibadah terakhir dalam hidup karena memang sejatinya tidak ada yang tahu kapan ajal menjemput. Bisa jadi setelah salat tersebut, itu benar-benar waktu ajal kita tiba. Maka, persembahkan kualitas ibadah terbaikmu pada setiap salat-salatmu. Wallahua’lam.
Baca juga: Salat: Bagian dari Zikir yang Paling Utama
***
Penulis: Fauzan Hidayat
Artikel asli: https://muslim.or.id/93417-andai-ini-salat-terakhirku.html